
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak konsumen mulai menyadari bahwa produk-produk yang mereka beli tampak semakin “mengecil,” meskipun harganya tetap sama — atau bahkan naik. Misalnya, isi dalam bungkus camilan favorit terasa berkurang, sabun batang menjadi lebih tipis, atau botol minuman terlihat lebih ramping. Fenomena ini bukan sekadar perasaan atau ilusi pembeli, melainkan sebuah strategi bisnis nyata yang disebut shrinkflation.
Istilah ini mungkin terdengar teknis, namun fenomenanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Shrinkflation telah menjadi cara halus bagi perusahaan untuk menghadapi tekanan ekonomi seperti inflasi, kenaikan harga bahan baku, dan peningkatan biaya produksi — tanpa harus menaikkan harga jual secara langsung. Bagi konsumen, hal ini bisa menjadi bentuk inflasi tersembunyi yang memengaruhi daya beli tanpa disadari.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam dan komprehensif tentang apa itu shrinkflation, mengapa hal ini terjadi, bagaimana cara perusahaan melakukannya, serta dampak jangka panjangnya bagi konsumen, ekonomi, dan kepercayaan publik terhadap merek.
Apa Itu Shrinkflation?
Secara sederhana, shrinkflation berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris: shrink (menyusut) dan inflation (inflasi). Shrinkflation berarti pengurangan ukuran, berat, atau jumlah isi produk tanpa penurunan harga yang sebanding. Artinya, konsumen tetap membayar dengan harga sama, tetapi mendapatkan kuantitas yang lebih sedikit.
Dalam istilah ekonomi, shrinkflation merupakan bentuk inflasi tidak langsung (hidden inflation). Meskipun harga per unit produk tidak berubah secara nominal, nilai aktual yang diterima konsumen berkurang. Dengan kata lain, harga per gram, mililiter, atau unit kecil produk menjadi lebih mahal.
Fenomena ini paling sering terjadi pada produk konsumsi sehari-hari (fast-moving consumer goods), seperti makanan ringan, minuman kemasan, sabun, deterjen, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Baca juga: 20+ Franchise Indonesia Terbaik dan Terpopuler untuk Investasi di Tahun 2025
Contoh Kasus Sederhana:
- Sebelumnya, sebungkus keripik 100 gram dijual Rp10.000.
- Setelah shrinkflation, kemasannya tetap sama, harganya tetap Rp10.000, tetapi isinya hanya 85 gram.
- Secara tidak langsung, konsumen membayar lebih mahal untuk jumlah barang yang lebih sedikit.
Asal-Usul dan Sejarah Munculnya Shrinkflation
Shrinkflation bukanlah fenomena baru. Strategi ini sudah digunakan perusahaan sejak dekade 1980-an ketika terjadi lonjakan harga bahan baku global. Dalam periode tersebut, banyak produsen makanan di Amerika dan Eropa menghadapi tekanan biaya produksi tinggi.
Daripada menaikkan harga secara langsung — yang dapat menurunkan daya beli dan menyebabkan reaksi negatif dari pelanggan — perusahaan memilih untuk mengurangi isi produk dengan diam-diam.
Fenomena ini kemudian menjadi semakin umum setelah krisis ekonomi global dan pandemi COVID-19. Lonjakan harga bahan baku, biaya logistik, dan gangguan rantai pasokan membuat banyak perusahaan beralih ke strategi shrinkflation untuk mempertahankan margin keuntungan tanpa terlihat menaikkan harga.
Penyebab Terjadinya Shrinkflation
Shrinkflation biasanya terjadi karena kombinasi berbagai faktor ekonomi dan strategi bisnis. Berikut beberapa penyebab utamanya:
a. Inflasi dan Kenaikan Biaya Produksi
Kenaikan harga bahan baku seperti gula, minyak, gandum, dan bahan kemasan mendorong biaya produksi naik. Ketika perusahaan tidak ingin menaikkan harga jual secara langsung, mereka memilih untuk mengurangi volume atau berat produk.
b. Biaya Distribusi dan Logistik
Kenaikan harga bahan bakar dan biaya transportasi membuat ongkos distribusi meningkat. Dalam situasi ini, produsen bisa menghemat biaya dengan mengurangi berat produk per unit agar efisiensi pengiriman lebih tinggi.
c. Strategi Menjaga Daya Beli Konsumen
Jika harga produk naik tajam, konsumen bisa berpindah ke merek lain. Shrinkflation memungkinkan perusahaan menjaga harga tetap terlihat stabil sehingga konsumen tetap loyal, meskipun sebenarnya nilai produk berkurang.
d. Psikologi Harga
Konsumen cenderung lebih sensitif terhadap kenaikan harga nominal daripada pengurangan isi.
Misalnya, mereka lebih cepat menyadari harga naik dari Rp10.000 ke Rp11.000 daripada isi berkurang dari 100 gram ke 90 gram. Karena itulah shrinkflation menjadi strategi “psikologis” yang efektif.
e. Persaingan Pasar
Di pasar yang sangat kompetitif, menaikkan harga bisa berdampak buruk bagi posisi merek. Shrinkflation digunakan sebagai solusi untuk menjaga daya saing tanpa kehilangan margin keuntungan.
Cara Perusahaan Melakukan Shrinkflation
Shrinkflation biasanya tidak dilakukan secara mencolok. Perusahaan menggunakan berbagai teknik halus agar konsumen tidak langsung menyadarinya. Beberapa cara umum meliputi:
a. Mengurangi Isi Produk
Metode paling sederhana adalah mengurangi jumlah isi produk dalam kemasan — misalnya dari 500 ml menjadi 450 ml atau dari 100 gram menjadi 90 gram.
b. Mengubah Desain Kemasan
Desain kemasan sering diubah agar tampak sama besar meskipun isinya berkurang. Misalnya, kemasan dibuat lebih tinggi tetapi lebih ramping, atau diberi ruang udara lebih banyak.
c. Mengganti Formula Produk
Beberapa produsen mengganti bahan baku dengan versi yang lebih murah, atau mengurangi bahan utama (seperti cokelat, daging, atau susu) untuk menekan biaya tanpa mengubah harga.
d. Mengubah Jumlah dalam Paket
Dalam kasus produk multipack, perusahaan bisa mengurangi jumlah unit dalam satu kemasan — misalnya dari 10 batang menjadi 8 batang, sementara ukuran kotaknya tetap sama.
Dampak Shrinkflation bagi Konsumen
Shrinkflation memiliki berbagai dampak yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi konsumen.
a. Penurunan Nilai Ekonomi Produk
Konsumen membayar jumlah uang yang sama tetapi mendapatkan produk lebih sedikit. Ini berarti penurunan daya beli secara tersembunyi.
b. Menurunnya Kepercayaan terhadap Merek
Ketika konsumen akhirnya menyadari adanya pengurangan isi, mereka bisa merasa tertipu. Dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak reputasi merek dan menurunkan loyalitas pelanggan.
c. Dampak terhadap Perbandingan Harga
Shrinkflation membuat konsumen lebih sulit membandingkan harga antarproduk. Karena ukuran tidak seragam, perbandingan harga per gram atau mililiter menjadi lebih kompleks.
d. Pengaruh terhadap Pola Konsumsi
Sebagian konsumen mungkin akan membeli lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan yang sama, yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran bulanan.
Dampak Shrinkflation terhadap Pasar dan Ekonomi
Selain memengaruhi konsumen secara individu, shrinkflation juga menimbulkan efek ekonomi yang lebih luas.
a. Inflasi Terselubung
Meskipun data inflasi resmi mungkin terlihat stabil, shrinkflation menciptakan inflasi yang tidak tercatat. Nilai uang masyarakat berkurang tanpa tercermin dalam indeks harga konsumen.
b. Distorsi Pasar
Ketika banyak produsen menerapkan shrinkflation secara bersamaan, pasar menjadi sulit untuk menilai harga wajar suatu produk. Hal ini bisa mengaburkan transparansi ekonomi.
c. Tekanan terhadap UMKM
Usaha kecil yang tidak mampu mengimbangi strategi shrinkflation bisa kalah bersaing, terutama jika bahan baku naik tetapi mereka tidak bisa mengurangi ukuran produk tanpa kehilangan pelanggan.
Shrinkflation vs. Skimpflation: Apa Bedanya?
Selain shrinkflation, ada istilah lain yang sering muncul: skimpflation.
Perbedaan utamanya terletak pada apa yang dikurangi oleh perusahaan:
- Shrinkflation: Mengurangi kuantitas produk (jumlah, berat, isi).
- Skimpflation: Mengurangi kualitas produk atau layanan (misalnya bahan diganti, pelayanan melambat, atau fitur dikurangi).
Keduanya merupakan cara perusahaan menghemat biaya produksi, namun efeknya berbeda. Shrinkflation memengaruhi volume, sementara skimpflation memengaruhi pengalaman konsumen.
Contoh Shrinkflation di Dunia Nyata
Fenomena shrinkflation telah diamati di berbagai negara, dan beberapa merek terkenal pun pernah melakukannya.
- Cokelat dan Snack:
Banyak merek global mengurangi ukuran batang cokelat, kue, atau keripik tanpa menurunkan harga. - Produk Kecantikan:
Botol sampo atau lotion sering mengalami pengurangan volume beberapa mililiter dengan kemasan yang tampak sama. - Minuman Kemasan:
Beberapa produsen air mineral dan minuman ringan mengurangi ukuran botol dari 600 ml menjadi 550 ml.
Di Indonesia, praktik serupa juga terjadi secara halus pada produk-produk kebutuhan rumah tangga, seperti deterjen, biskuit, dan susu bubuk.
Cara Konsumen Menghadapi Shrinkflation
Sebagai konsumen, kita perlu menjadi lebih cerdas dalam menghadapi fenomena ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
a. Perhatikan Label Berat atau Volume
Jangan hanya melihat ukuran kemasan, tetapi baca juga keterangan “netto” atau “isi bersih” pada label produk.
b. Bandingkan Harga per Satuan
Bandingkan harga per gram atau per liter antara merek berbeda agar bisa menilai nilai ekonomi sebenarnya.
c. Gunakan Produk Lokal
Seringkali produk lokal masih mempertahankan ukuran dan kualitas dengan harga lebih terjangkau dibanding produk impor atau merek besar.
d. Manfaatkan Promo dan Diskon
Mengatur waktu belanja saat ada potongan harga dapat membantu mengimbangi efek shrinkflation.
e. Edukasi Konsumen Lain
Semakin banyak konsumen sadar akan praktik ini, semakin besar tekanan bagi produsen untuk lebih transparan dalam memberikan informasi produk.
Perspektif Perusahaan: Mengapa Shrinkflation Dianggap “Perlu”?
Dari sisi produsen, shrinkflation bukan sekadar strategi manipulatif, melainkan langkah bertahan hidup dalam tekanan ekonomi. Beberapa alasan pembenaran antara lain:
- Menjaga Stabilitas Harga di Pasar
Dengan tidak menaikkan harga secara langsung, perusahaan dapat mempertahankan permintaan stabil. - Menghindari Efek Psikologis Kenaikan Harga
Konsumen cenderung lebih menerima perubahan isi daripada kenaikan harga nominal. - Efisiensi Produksi dan Distribusi
Produk yang lebih ringan bisa mengurangi biaya transportasi dan pengemasan.
Namun, strategi ini tetap harus dilakukan secara transparan agar tidak menurunkan kepercayaan publik terhadap merek.
Shrinkflation dan Regulasi Konsumen
Beberapa negara mulai memperketat regulasi terhadap praktik shrinkflation. Misalnya, Uni Eropa dan Amerika Serikat mewajibkan produsen mencantumkan ukuran lama dan baru saat terjadi perubahan isi produk untuk mencegah konsumen tertipu.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Perdagangan memiliki aturan tentang kejujuran label dan informasi produk. Namun, praktik shrinkflation sulit dideteksi karena sering dilakukan secara bertahap dan halus.
Ke depan, regulasi transparansi label mungkin menjadi isu penting dalam perlindungan konsumen di era inflasi global.
Baca juga: Jenis Franchise yang Paling Umum di Indonesia dan Dunia
Dampak Jangka Panjang Shrinkflation terhadap Ekonomi dan Kepercayaan Publik
Shrinkflation memiliki konsekuensi sosial-ekonomi yang tidak bisa diabaikan:
- Menurunnya Kepercayaan Konsumen:
Jika dilakukan terus-menerus tanpa transparansi, konsumen bisa kehilangan kepercayaan terhadap merek besar. - Menurunnya Kualitas Konsumsi:
Konsumen mungkin mengurangi pembelian atau beralih ke produk murah, yang bisa menurunkan kualitas hidup. - Pergeseran Pola Belanja:
Konsumen mulai beralih ke produk curah, lokal, atau private label supermarket yang lebih jujur dalam harga dan isi. - Efek Domino pada Perekonomian:
Jika shrinkflation terjadi luas, daya beli masyarakat turun, yang akhirnya dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kesimpulan
Shrinkflation adalah bentuk inflasi terselubung yang diam-diam menggerus nilai uang konsumen. Walau terlihat sepele — misalnya, isi produk berkurang 10 gram atau botol sedikit mengecil — dampaknya sangat nyata terhadap daya beli masyarakat dan kepercayaan konsumen terhadap merek.
Bagi perusahaan, shrinkflation mungkin solusi sementara untuk menghadapi tekanan biaya produksi. Namun bagi konsumen, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk ketidakjujuran apabila dilakukan tanpa transparansi. Oleh karena itu, keseimbangan antara strategi bisnis dan etika harus menjadi perhatian utama.
Di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, baik produsen maupun konsumen perlu lebih transparan, cerdas, dan kritis. Produsen harus menjaga integritas merek, sementara konsumen perlu lebih bijak dalam membaca label dan memahami nilai produk yang mereka beli.
Pada akhirnya, kesadaran terhadap fenomena shrinkflation dapat membantu kita semua — sebagai masyarakat ekonomi — memahami dinamika inflasi modern yang tidak hanya terjadi melalui kenaikan harga, tetapi juga melalui penyusutan nilai secara diam-diam.